Minggu, 28 November 2010

PERSAINGAN TELEKOMUNIKASI


Persaingan bisnis telekomunikasi semakin sengit. Operator telekomunikasi pun bersiap mengelontorkan duit untuk memperkuat pangsa pasar mereka. Intip saja rencana belanja modal atau capital expenditure (capex) operator telekomunikasi papan atas tahun depan yang semakin gendut. Ambil contoh, Telekomunikasi Indonesia (TLKM) menyiapkan belanja modal sekitar Rp 21 triliun di 2010. Indosat (ISAT) tak mau kalah. Tahun depan, ISAT memperbesar capex hingga 20% menjadi US$ 720 juta. Sedangkan PT Excelcomindo Pratama Tbk (EXCL) menggenjot capex hingga US$ 500 juta, melonjak 66,6% dari belanja modal tahun ini sebesar US$ 300 juta. Sedangkan pemain besar lain, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) menyiapkan belanja modal US$ 200 juta atau Rp 1,8 triliun. Umumnya, para operator telepon itu mengalokasikan sebagian besar belanja modal untuk menambah kapasitas jaringan seluler. BTEL misalnya, "Kami akan membangun 1.000 unit base transceiver station (BTS) tahun depan," kata M. Danny Buldansyah, Wakil Presiden Direktur BTTEL, kemarin (26/10).
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi melihat, kini, persaingan layanan percakapan dan pesan singkat (SMS) semakin ketat. Sebab, pengguna kedua layanan itu telah mencapai 130 juta atau 56,52% dari total penduduk. Makanya, ia menyarankan operator memperkuat layanan koneksi data internet. Sebab, pengguna internet saat ini baru mencapai 30 juta jiwa. Analis Danareksa Sekuitas Chandra Pasaribu juga bilang, ceruk bisnis yang masih lebar adalah teknologi transmisi data. Yang menjadi kendala, pembangunan infrastrukturnya butuh dana besar. Hadirnya teknologi canggih penyedia layanan data seperti WiMAX memang bisa menjadi pesaing buat operator telekomunikasi.Tapi, penetrasi 3G saat ini juga sudah cukup masif. Dus, operator telekomunikasi tidak perlu khawatir bila nantinya operator WiMAX sudah mendapatkan izin operasi. "Yang penting mereka bisa menyediakan akses data dengan cepat dan tarif yang terjangkau,".
      Masyarakat mulai merasakan manfaat kompetisi di sektor telekomunikasi dan persaingan teknologi serta persaingan bisnis antar-operator memberi alternatif pilihan yang menguntungkan. Dengan masuknya Telkomflexi yang berbasis teknologi CDMA (code division multiple access), maka sekarang masyarakat dapat menikmati layanan telepon seluler dengan tarif telepon tetap PSTN. Jadi telepon seluler bukan barang mewah lagi.

      Dalam menangani persaingan ini, peranan dan konsistensi regulator benar diuji. Yaitu bagaimana kebijakan dan kebijaksanaan regulasi sektor telekomunikasi untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan para pemain
bisnis. Permasalahan utama pemerintah selama ini adalah bagaimana mempercepat penambahan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Kepadatan telepon (teledensitas) sampai saat ini baru 3,7 persen, atau rata-rata tiga telepon di antara seratus penduduk. Tentunya angka ini akan lebih kecil lagi untuk di daerah-daerah pedesaan atau daerah terpencil yang bisa hanya mencapai 0,01 persen saja. Diperlukan terobosan-terobosan teknologi dan regulasi untuk mendongkrak angka teledensitas Indonesia yang sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.

      Di Indonesia, liberalisasi bisnis seluler dimulai sejak tahun 1995, saat pemerintah mulai membuka kesempatan kepada swasta untuk berbisnis telepon seluler dengan cara kompetisi penuh. Bisa diperhatikan, bagaimana ketika teknologi GSM (global system for mobile) datang dan menggantikan teknologi seluler generasi pertama yang sudah masuk sebelumnya ke Indonesia seperti NMT (nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile phone system). Teknologi GSM lebih unggul, kapasitas jaringan lebih tinggi, karena efisiensi di spektrum frekuensi. Sekarang, dalam kurun waktu hampir satu dekade, teknologi GSM telah menguasai pasar dengan jumlah pelanggan lebih dari jumlah pelanggan telepon tetap. Tren ini akan berjalan terus karena di samping fitur-fiturnya lebih menarik, telepon seluler masih merupakan prestise, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

      Namun, sampai saat ini telepon seluler masih merupakan barang mewah, tidak semua lapisan masyarakat bias menikmatinya. Tarifnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan telepon tetap PSTN (public switched telephone network), baik untuk komunikasi lokal maupun SLJJ (sambungan langsung jarak jauh), ada yang mencapai Rp 4.500 per
menit flat rate untuk komunikasi SLJJ.

      Namun, berapa pun tarif yang ditawarkan operator seluler GSM, karena tidak ada pilihan lain, apa boleh buat, diambil juga. Terutama karena telepon PSTN tidak bisa diharapkan. Jadi, masuknya CDMA menjanjikan solusi teknologi yang ekonomis untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam mempercepat penambahan PSTN. Apalagi, CDMA datang dengan teknologi seluler 3G, yang menawarkan fitur-fitur yang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi GSM. Keunggulan ini sekaligus dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup masyarakat modern.

Sumber : http://community.gunadarma.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar